Rabu, 15 Desember 2010

Al-Qur’an sebagai Protektor

Ada satu hal yang harus diingat bahwa al-Qur’an itu berfungsi sebagai protektor atau pelindung dari kitab-kitab yang lama. Dalam al-Qur’an dinyatakan, “Dan Kami turunkan Kitab yang membawa kebenaran, memperkuat Kitab yang sudah ada sebelumnya dan menjaganya. Maka putuskanlah perkara antara mereka menurut apa yang diturunkan Allah. Dan janganlah ikuti nafsu mereka denganmeninggalkan kebenaran yang datang kepadamu. Untuk kamu masing-masing Kami tentukan suatu undang-undang dan jalan yang terang. Sekiranya Allah menghendaki niscaya Ia menjadikan kamu satuumat, tetapi Iahendak menguji kamu atas pemberian-Nya. Maka berlombalah kamu dalam kebaikan. Kepada Allah tempat kamu kembali, lalu ditunjukkan kepadamu apa yang kamu perselisihkan,” (Q. 5: 48).

Jadi untuk mengetahui perbedaan di antara kita itu hampir-hampir hak prerogatif Tuhan, kita akan tahu itu nanti di akhirat. Dan ayat itu diturunkan satu deretan dengan cerita tentang kitab-kitab yang lalu. Pertama, loncat ke orang Yahudi, artinya tidak bicara tentang Ibrahim (Ibrahim punya suhuf, hanya lembaran-lembaran, tidak berbentuk kitab).

Dalam surat al-Ma’idah ada gugatan kepada orang Yahudi, “Tetapi bagaimana mereka datang kepadamu meminta keputusan padahal mereka mempunyai Taurat, di dalamnya ada peraturan Allah? Sesudah itu kemudian mereka tinggalkan. Sungguh mereka bukan orang beriman,” (Q. 5: 43). Sampai di sini jelas al-Qur’an sendiri mengatakan bahwa dalam Taurat yang ada sekarang ini, terdapat hukum Allah, dan diharapkan orang Yahudi melaksanakannya. Ini berarti bahwa orang Yahudi tidak harus meninggalkan sama sekali Taurat. Firman Allah, “Kamilah yang menurunkan Taurat, di dalamnya terdapat petunjuk dan cahaya, yang oleh para nabi dan mereka yang berserah diri, oleh para rabi dan ahbar diputuskan perkara penganut agama Yahudi, sebab kepada mereka diperintahkan memelihara Kitab Allah. Dan untuk itu mereka menjadi saksi. Janganlah kamu takut kepada manusia, tetapi takutlah kepada-Ku dengan harga yang tak berarti. Barang siapa tidak menjalankan hukum seperti yang diturunkan Allah, mereka adalah orang yang ingkar,” (Q. 5: 44). Jelas, bahwa konteksnya dalam Taurat.

Kemudian, apa isi Taurat?

Firman Allah, “Di dalamnya Kami turunkan kepada mereka, ‘Nyawa dibayar dengan nyawa, mata dengan mata, hidung dengan hidung, telinga dengan telinga, gigi dengan gigi, dan luka ada qisasnya.’ Tetapi barang siapa melepaskan hak pembalasannya sebagai sedekah, maka itu penebus dosa baginya. Barang siapa tidak menjalankan hukum seperti yang diturunkan Allah, mereka adalah orang yang zalim. Dan untuk meneruskan jejak mereka Kami utus Isa Putra Maryam, memperkuat Taurat yang sudah ada sebelumnya, dan Kamiberikan Injil kepadanya. Di dalamnya terdapat petunjuk dan cahaya, dan memperkuat Taurat yang sudah ada sebelumnya, sebagai petunjuk dan peringatan untuk orang yang bertakwa. Hendaklah pengikut Injil memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah di dalamnya. Barang siapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah mereka itulah orang fasik,” (Q. 5: 45-47).

Setelah itu, baru cerita tentang Nabi Muhammad. Firman Allah, “Dan Kami turunkan Kitab yang membawa kebenaran, memperkuat Kitab yang sudah ada sebelumnya dan menjaganya. Maka putuskanlah perkara antara mereka menurut apa yang diturunkan oleh Allah,” (Q. 5: 48).

Jadi orang Kristen dan orang Yahudi masih diperintahkan oleh Tuhan untuk menjalankan kitab suci masing-masing. Itu yang disebut “muhaymin” dalam ayat di atas. Di tempat-tempat lain al-Qur’an menjanjikan bahwa kalau orang-orang Yahudi dan Kristen itu menjalankan ajaran mereka, maka Allah akan memberi mereka rezeki dari atas, dari bawah, dan sebagainya.

Itulah sebabnya al-Qur’an disebut “Qur’ân” dengan dua makna. Makna pertama adalah “bacaan”, dari qarâ’-a--yaqra’-u--qur’ân. Maka tidak terlalu salah kalau sastrawan H.B. Yassin menyebut terjemahannya sebagai Bacaan Mulia (Al-Qur’ân al-Karîm). Makna kedua adalah “compandium” atau kumpulan atau rangkuman dari semuanya sehingga menjadi satu. Volume al-Qur’an memang kecil, hanya sepertiga atau seperempat dari Bibel, akan tetapi bebas dari dongeng sehingga menjadi ringkas sekali.

DIASPORA BANI ISRAIL

Dalam al-Qur’an disebutkan bahwa tidak semua non-Muslim adalah sama (Q. 3: 113). Pada ayat sebelumnya digambarkan bahwa orang-orang ahli kitab, terutama Yahudi, banyak melakukan pelanggaran. Maka dikutuk oleh Tuhan, “Mereka selalu diliputi kehinaan (seperti kemah) di mana pun mereka berada, kecuali bila mereka berpegang pada tali (janji) dari Allah dan tali (janji) dari manusia,” (Q. 3: 112). Dengan adanya pengecualian ini berarti ada di antara mereka yang berhubungan dengan Allah dan sesama manusia.

Dalam wujud his­toris, orang Yahudi mengalami diaspora, yaitu ketika mereka ditindas Titus pada tahun 70 M dengan tidak diperbolehkan tinggal di Palestina. Mereka kemudian mengembara di seluruh muka bumi tanpa tanah air sampai tahun 48 ketika Israel didirikan, “Mereka telah diliputi oleh kehinaan dan penderitaan, dan mereka berada dalam kemurkaan Allah,” (Q. 2: 61). Ini terlihat dalam istilah Ghetto di Eropa yang berarti kampung-kampung Yahudi yang sangat miskin di pinggir kota. “Yang demikian­lah itu karena mereka mengingkari ayat-ayat Allah dan membunuh para nabi tanpa sebab,” (Q. 3: 112). Dan semua itu termuat dalam Bible bahwa mereka membunuh Nabi Yahya, Nabi Zakaria, dan Nabi Isa mau mereka bunuh. Tetapi “Mereka tidak sama, di antara ahli kitab ada segolonganyang berlaku jujur, mereka membaca ayat-ayat Allah pada malam hari dan mereka pun bersujud. Mereka percaya pada Allah dan hari kemudian, menyuruh orang berbuat benar dan mencegah perbuatan mungkar serta berlomba dalam kebaikan. Mereka termasuk orang yang selah. Dan perbuatan baik apa pun yang mereka kerjakan niscaya tak kan ditinggalkan. Dan Allah Mahatahu mereka yang bertakwa,” (Q. 3: 113-115). Titik tekan kafir dalam ayat di atas bukanlah pada non-Muslim, tetapi mereka yang menolak kebenaran.

Adab Guru-Murid

Dalam Ihyâ’ ‘Ulûm-i ‘l-Dîn, juga kupasan mengenai sopan-santun orang yang mengajar dan belajar (guru-murid). Di sini kita sering sekali mendengar tentang etika hubungan antara guru dengan murid di pesantren, yang dalam beberapa hal membuat mati ilmu pengetahuan. Ada sebuah buku yang sangat terkenal di pesantren, yaitu Ta‘lîm-u 'l-Muta‘allim, yang mengajarkan bahwa murid pantang membantah guru. Kalau murid membantah bisa dikutuk guru, dan ilmunya tidak akan bermanfaat. Ta‘lîm-u 'l-Muta‘allim, oleh Prof. Mukti Ali pernah diangkat sebagai persoalan pembahasan untuk mengerti hubungan guru-murid, yang di pesantren menimbulkan ekses tidak produktif. Di kalangan pesantren, perkataan yang paling mengerikan dari seorang guru adalah, "ilmumu tidak bermanfaat!" Itu berarti "kutukan". Ini salah satu ekses dari al-Ghazali. Ekses, sebab al-Ghazali sendiri tidak bermaksud demikian.

Bahkan al-Ghazali sendiri sangat kreatif sebagai murid, sehingga sering terkesan seperti menentang gurunya. Sampai-sampai terjadi 6.000 perbedaan pendapat dengan gurunya--seperti yang terjadi antara Imam Syafi’i dengan Imam Malik. Sementara itu Abu Hanifah lebih mementingkan penalaran. Maka dengan mudah sekali dibayangkan perbedaan antara mazhab Maliki dengan mazhab Hanafi. Menurut Kiai Hasyim Asyari, perbedaan antara kedua mazhab itu menyangkut 14.000 bidang masalah. Kemudian tentang Ibn Hanbal, ia adalah murid Imam Syafi’i, tetapi kemudian mendirikan mazhab sendiri, yaitu mazhab Hanbali. Banyak sekali perbedaan mazhab Hanbali dengan mazhab Syafi’i. Kendati begitu, menurut Kiai Hasyim, keduanya tidak pernah saling bermusuhan, tidak pernah saling menyalahkan, dan tidak pernah saling mencerca, apalagi saling mengutuk.

Ketika Abu Hanifah ditanya mengenai polemik dan serangan-serangan yang ditujukan kepadanya, dia dengan tenang mengatakan, “ternyata kita benar tetapi masih ada kemungkinan salah, pendapat orang lain salah, tetapi ada kemungkinan benar". Begitulah, dulu orang Islam menyikapi perbedaan pendapat. Karena itu sampai sekarang warisannya masih ada di kalangan para ulama, yaitu bahwa di ujung setiap persoalan selalu diucapkan wa ‘l-Lâh-u a‘lam-u bi ‘l-shawâb (hanya Allah yang mengetahui yang benar), dan kita tidak tahu apa-apa.

ALLAH TEMPAT TUJUAN

Ali ibn Abi Thalib pernah mengatakan, “Allah adalah tujuan dari orang yang menuju ke sana.” Ungkapan itu sebenarnya adalah terjemahan dari “Innâ li 'l-Lâh-i wa innâ ilay-hi râji‘ûn” (Sesungguhnya kita berasal dari Allah dan kita akan kembali kepada-Nya). Sesuatu yang mendorong kita kepada tujuan bukanlah tujuan itu sendiri. Kalau kita terdorong untuk ingat kepada Allah, misalnya, maka bayangan kita tentang Allah bukanlah Allah itu sendiri. Allah tidak akan tertangkap oleh bayangan kita. Apa pun yang sudah masuk ke benak kita akan dibatasi oleh keterbatasan diri kita sendiri, padahal Allah tidak terbatas. Pendeknya, manusia tidak mungkin mencakup atau meraih Allah swt yang mutlak.

Dulu, orang-orang kafir Makkah mengatakan bahwa berhala-berhala itu adalah tuhan-tuhan. Mereka sebetulnya adalah orang-orang yang masih percaya dengan adanya supreme God, hanya saja Dia dipahami sebagai punya associate. Maka semua nabi, termasuk Nabi Muhammad yang diturunkan di tengah orang-orang kafir Makkah itu, membawa ajaran Ketuhanan Yang Maha Esa. Artinya, bukan mengajak atau membuat manusia percaya Tuhan, melainkan mengajarkan kepercayaan kepada Tuhan yang satu dan yang benar.

Nabi Ibrahim diakui oleh agama Yahudi, Kristen, dan Islam sebagai “Bapak Monoteisme”. Di dalam al-Qur’an ada ilustrasi yang sangat menyentuh ketika Ibrahim merusak patung-patung yang menjadi objek sesembahan orang-orang ketika itu, kecuali patung yang terbesar yang dia kalungi dengan kapak. Ketika Ibrahim diprotes, dia dengan tenang mengatakan bahwa yang melakukan pengrusakan itu bukan dirinya, melainkan patung yang punya kapak itu. Lalu mereka mengatakan bagaimana mungkin mereka harus bertanya kepada batu. Ibrahim menjawab, kalau kalian tahu itu cuma batu kenapa pula harus disembah.

Patung-patung yang jumlahnya ratusan itu sebetulnya dibuat oleh orang-orang Kaldea dan Babilon. Konon itu merupakan warisan dari dewa-dewa lokal, yang dewa-dewa lokal itu sendiri adalah satu simbol dari ikatan sosial pada tingkat lokal. Suatu nilai moral mengenai baik dan buruk harus didasarkan pada satu kesepakatan tertentu yang diikatkan kepada mitos-mitos yang akan menjadi sistem penjelas.

Dewa-dewa lokal itu sendiri jumlahnya sangat banyak. Di Arab saja ada sekitar 360-an dewa. Akan tetapi dalam dunia serba-dewa itu, ada dewa yang mengatasi semuanya, yaitu yang disebut High God. High God-nya orang-orang Babilon dulu namanya Marduke. Nabi Ibrahim mengatakan bahwa semua itu bukan Tuhan, yang Tuhan adalah cuma Allah yang satu dan benar. Begitu juga dengan Nabi Muhammad ketika di Makkah harus berhadapan dengan 360-an berhala. Tetapi kalau orang-orang Arab ditanya kenapa mereka menyembah berhala, mereka akan menjawab bahwa mereka menyembah berhala tidak lain ialah untuk mendekatkan diri kepada Allah swt. Jadi berhala-berhala itu berfungsi sebagai perantara, sebab di atas ratusan berhala itu ada Supreme Being atau High God, yaitu Allah swt. Nabi Muhammad mengatakan kepada mereka bahwa berhala-berhala itu sama sekali bukan Tuhan dan tidak bisa mengantarai manusia dan Tuhan. Tuhan yang benar hanya Allah swt. Seruan Nabi Muhammad ini sama dengan analog Ibrahim dengan Marduke.

Para sosiolog yang tidak percaya kepada nilai ketuhanan akan mengatakan bahwa sebetulnya penciptaan Marduke dan penghapusan semua dewa-dewa adalah proses penyatuan bangsa Babilon, mulai dengan proses penyatuan seluruh bangsa Arab. Dengan penghancuran dewa-dewa itu, dan kemudian diterimanya Allah swt, berarti bangsa Arab menjadi satu. Secara historis, memang begitulah kenyataannya. Dalam tempo beberapa ratus tahun kemudian bangsa Arab menguasai daerah yang terbentang dari Lautan Atlantik sampai tembok China. Jelas itu karena nasionalisme Arab yang dipersatukan melalui satu sistem kepercayaan.

AGAMA PERJANJIAN

Penyebutan kitab Yahudi dengan Perjanjian Lama sebenarnya problematis, karena hal itu mengisyaratkan sudah tidak berlaku lagi, sudah dihapus oleh Perjanjian Baru, yaitu Injil. Orang-orang Yahudi sendiri menyebutnya dengan Taurat yang terdiri dari Nebazim (cerita tentang nabi-nabi) dan Khetubim (cerita tentang kitab-kitab suci). Orang Islam tidak dibenarkan menyebutnya Perjanjian Lama; tidak ada Perjanjian Lama ataupun Perjanjian Baru. Karena perjanjian antara Tuhan dengan manusia bersifat perennial, abadi. Memang ada perjanjian primordial antara manusia dengan Tuhan yang merupakan pangkal tolak konsep mengenai manusia. Dalam al-Qur’an ada gambaran bahwa sebelum lahir, di alam ruhani, kita dipanggil oleh Tuhan untuk dimintai persaksian mengenai Allah sebagai Tuhan kita, dan waktu itu kita menjawab, “Ya, kami bersaksi (Engkau adalah Tuhan kami—NM),” (Q. 7: 172). Karena itu, tidak ada bakat yang lebih mendasar pada manusia selain bakat menyembah. Begitu lahir kita mempunyai naluri untuk menyembah, sebagai suatu bentuk dorongan gerak kembali kepada Tuhan.
Perjanjian primordial antara manusia dengan Tuhan terjadi pada level spiritual, karenanya tidak disadari. Ini analog dengan psikologi yang sebagian besar konstruksinya adalah bawah sadar, tetapi banyak mempen¬garuhi hidup kita. Apalagi yang spiritual, sangat banyak mempengaruhi hidup kita, terutama yang menyangkut masalah pengalaman-penagalaman sejati tentang kebagahagiaan dan kesengsaraan. Ini kemudian dikaitkan dengan perjanjian dengan Tuhan, yang karena perjanjian itu, maka manusia selalu mempunyai dorongan batin untuk kembali, ada dorongan gerak untuk kembali. Dan setiap keberhasilan kembali akan menim¬bulkan kebahagiaan.
Kemudian semua orang ingin kembali ke rumah, maka ada ungkapan “Rumahku adalah surgaku”. Karena itu, kalau tidak berhasil kembali ke rumah berarti sesat, yang identik dengan kesengsaraan. Dorongan kembali kepada Tuhan yang mewarnai hidup kita, yang karena menyangkut kesucian, maka bakat manusia itu disebut hanîf. Maka agama sebenarnya merupakan wujud dari perjanjian dengan Tuhan yang dalam bahasa Arab disebut mîtsâq. Karena itu perjanjian seperti The Ten Commandements dan sebagainya, sebenarnya merupakan pewujudan kembali dari sesuatu yang secara potensial ada dalam diri manusia. Kalau perjanjian dengan Tuhan diejawantahkan dalam kehidupan sehari-hari, ia menjadi etika dan moral. Tema inilah yang terdapat dalam keseluruhan isi The Ten Commendements, yang dimulai dengan imperatif, kemudian negatif, dan sedikit yang positif.