Rabu, 15 Desember 2010

Adab Guru-Murid

Dalam Ihyâ’ ‘Ulûm-i ‘l-Dîn, juga kupasan mengenai sopan-santun orang yang mengajar dan belajar (guru-murid). Di sini kita sering sekali mendengar tentang etika hubungan antara guru dengan murid di pesantren, yang dalam beberapa hal membuat mati ilmu pengetahuan. Ada sebuah buku yang sangat terkenal di pesantren, yaitu Ta‘lîm-u 'l-Muta‘allim, yang mengajarkan bahwa murid pantang membantah guru. Kalau murid membantah bisa dikutuk guru, dan ilmunya tidak akan bermanfaat. Ta‘lîm-u 'l-Muta‘allim, oleh Prof. Mukti Ali pernah diangkat sebagai persoalan pembahasan untuk mengerti hubungan guru-murid, yang di pesantren menimbulkan ekses tidak produktif. Di kalangan pesantren, perkataan yang paling mengerikan dari seorang guru adalah, "ilmumu tidak bermanfaat!" Itu berarti "kutukan". Ini salah satu ekses dari al-Ghazali. Ekses, sebab al-Ghazali sendiri tidak bermaksud demikian.

Bahkan al-Ghazali sendiri sangat kreatif sebagai murid, sehingga sering terkesan seperti menentang gurunya. Sampai-sampai terjadi 6.000 perbedaan pendapat dengan gurunya--seperti yang terjadi antara Imam Syafi’i dengan Imam Malik. Sementara itu Abu Hanifah lebih mementingkan penalaran. Maka dengan mudah sekali dibayangkan perbedaan antara mazhab Maliki dengan mazhab Hanafi. Menurut Kiai Hasyim Asyari, perbedaan antara kedua mazhab itu menyangkut 14.000 bidang masalah. Kemudian tentang Ibn Hanbal, ia adalah murid Imam Syafi’i, tetapi kemudian mendirikan mazhab sendiri, yaitu mazhab Hanbali. Banyak sekali perbedaan mazhab Hanbali dengan mazhab Syafi’i. Kendati begitu, menurut Kiai Hasyim, keduanya tidak pernah saling bermusuhan, tidak pernah saling menyalahkan, dan tidak pernah saling mencerca, apalagi saling mengutuk.

Ketika Abu Hanifah ditanya mengenai polemik dan serangan-serangan yang ditujukan kepadanya, dia dengan tenang mengatakan, “ternyata kita benar tetapi masih ada kemungkinan salah, pendapat orang lain salah, tetapi ada kemungkinan benar". Begitulah, dulu orang Islam menyikapi perbedaan pendapat. Karena itu sampai sekarang warisannya masih ada di kalangan para ulama, yaitu bahwa di ujung setiap persoalan selalu diucapkan wa ‘l-Lâh-u a‘lam-u bi ‘l-shawâb (hanya Allah yang mengetahui yang benar), dan kita tidak tahu apa-apa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar