Rabu, 15 Desember 2010

AGAMA PERJANJIAN

Penyebutan kitab Yahudi dengan Perjanjian Lama sebenarnya problematis, karena hal itu mengisyaratkan sudah tidak berlaku lagi, sudah dihapus oleh Perjanjian Baru, yaitu Injil. Orang-orang Yahudi sendiri menyebutnya dengan Taurat yang terdiri dari Nebazim (cerita tentang nabi-nabi) dan Khetubim (cerita tentang kitab-kitab suci). Orang Islam tidak dibenarkan menyebutnya Perjanjian Lama; tidak ada Perjanjian Lama ataupun Perjanjian Baru. Karena perjanjian antara Tuhan dengan manusia bersifat perennial, abadi. Memang ada perjanjian primordial antara manusia dengan Tuhan yang merupakan pangkal tolak konsep mengenai manusia. Dalam al-Qur’an ada gambaran bahwa sebelum lahir, di alam ruhani, kita dipanggil oleh Tuhan untuk dimintai persaksian mengenai Allah sebagai Tuhan kita, dan waktu itu kita menjawab, “Ya, kami bersaksi (Engkau adalah Tuhan kami—NM),” (Q. 7: 172). Karena itu, tidak ada bakat yang lebih mendasar pada manusia selain bakat menyembah. Begitu lahir kita mempunyai naluri untuk menyembah, sebagai suatu bentuk dorongan gerak kembali kepada Tuhan.
Perjanjian primordial antara manusia dengan Tuhan terjadi pada level spiritual, karenanya tidak disadari. Ini analog dengan psikologi yang sebagian besar konstruksinya adalah bawah sadar, tetapi banyak mempen¬garuhi hidup kita. Apalagi yang spiritual, sangat banyak mempengaruhi hidup kita, terutama yang menyangkut masalah pengalaman-penagalaman sejati tentang kebagahagiaan dan kesengsaraan. Ini kemudian dikaitkan dengan perjanjian dengan Tuhan, yang karena perjanjian itu, maka manusia selalu mempunyai dorongan batin untuk kembali, ada dorongan gerak untuk kembali. Dan setiap keberhasilan kembali akan menim¬bulkan kebahagiaan.
Kemudian semua orang ingin kembali ke rumah, maka ada ungkapan “Rumahku adalah surgaku”. Karena itu, kalau tidak berhasil kembali ke rumah berarti sesat, yang identik dengan kesengsaraan. Dorongan kembali kepada Tuhan yang mewarnai hidup kita, yang karena menyangkut kesucian, maka bakat manusia itu disebut hanîf. Maka agama sebenarnya merupakan wujud dari perjanjian dengan Tuhan yang dalam bahasa Arab disebut mîtsâq. Karena itu perjanjian seperti The Ten Commandements dan sebagainya, sebenarnya merupakan pewujudan kembali dari sesuatu yang secara potensial ada dalam diri manusia. Kalau perjanjian dengan Tuhan diejawantahkan dalam kehidupan sehari-hari, ia menjadi etika dan moral. Tema inilah yang terdapat dalam keseluruhan isi The Ten Commendements, yang dimulai dengan imperatif, kemudian negatif, dan sedikit yang positif.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar