Rabu, 15 Desember 2010

ALLAH TEMPAT TUJUAN

Ali ibn Abi Thalib pernah mengatakan, “Allah adalah tujuan dari orang yang menuju ke sana.” Ungkapan itu sebenarnya adalah terjemahan dari “Innâ li 'l-Lâh-i wa innâ ilay-hi râji‘ûn” (Sesungguhnya kita berasal dari Allah dan kita akan kembali kepada-Nya). Sesuatu yang mendorong kita kepada tujuan bukanlah tujuan itu sendiri. Kalau kita terdorong untuk ingat kepada Allah, misalnya, maka bayangan kita tentang Allah bukanlah Allah itu sendiri. Allah tidak akan tertangkap oleh bayangan kita. Apa pun yang sudah masuk ke benak kita akan dibatasi oleh keterbatasan diri kita sendiri, padahal Allah tidak terbatas. Pendeknya, manusia tidak mungkin mencakup atau meraih Allah swt yang mutlak.

Dulu, orang-orang kafir Makkah mengatakan bahwa berhala-berhala itu adalah tuhan-tuhan. Mereka sebetulnya adalah orang-orang yang masih percaya dengan adanya supreme God, hanya saja Dia dipahami sebagai punya associate. Maka semua nabi, termasuk Nabi Muhammad yang diturunkan di tengah orang-orang kafir Makkah itu, membawa ajaran Ketuhanan Yang Maha Esa. Artinya, bukan mengajak atau membuat manusia percaya Tuhan, melainkan mengajarkan kepercayaan kepada Tuhan yang satu dan yang benar.

Nabi Ibrahim diakui oleh agama Yahudi, Kristen, dan Islam sebagai “Bapak Monoteisme”. Di dalam al-Qur’an ada ilustrasi yang sangat menyentuh ketika Ibrahim merusak patung-patung yang menjadi objek sesembahan orang-orang ketika itu, kecuali patung yang terbesar yang dia kalungi dengan kapak. Ketika Ibrahim diprotes, dia dengan tenang mengatakan bahwa yang melakukan pengrusakan itu bukan dirinya, melainkan patung yang punya kapak itu. Lalu mereka mengatakan bagaimana mungkin mereka harus bertanya kepada batu. Ibrahim menjawab, kalau kalian tahu itu cuma batu kenapa pula harus disembah.

Patung-patung yang jumlahnya ratusan itu sebetulnya dibuat oleh orang-orang Kaldea dan Babilon. Konon itu merupakan warisan dari dewa-dewa lokal, yang dewa-dewa lokal itu sendiri adalah satu simbol dari ikatan sosial pada tingkat lokal. Suatu nilai moral mengenai baik dan buruk harus didasarkan pada satu kesepakatan tertentu yang diikatkan kepada mitos-mitos yang akan menjadi sistem penjelas.

Dewa-dewa lokal itu sendiri jumlahnya sangat banyak. Di Arab saja ada sekitar 360-an dewa. Akan tetapi dalam dunia serba-dewa itu, ada dewa yang mengatasi semuanya, yaitu yang disebut High God. High God-nya orang-orang Babilon dulu namanya Marduke. Nabi Ibrahim mengatakan bahwa semua itu bukan Tuhan, yang Tuhan adalah cuma Allah yang satu dan benar. Begitu juga dengan Nabi Muhammad ketika di Makkah harus berhadapan dengan 360-an berhala. Tetapi kalau orang-orang Arab ditanya kenapa mereka menyembah berhala, mereka akan menjawab bahwa mereka menyembah berhala tidak lain ialah untuk mendekatkan diri kepada Allah swt. Jadi berhala-berhala itu berfungsi sebagai perantara, sebab di atas ratusan berhala itu ada Supreme Being atau High God, yaitu Allah swt. Nabi Muhammad mengatakan kepada mereka bahwa berhala-berhala itu sama sekali bukan Tuhan dan tidak bisa mengantarai manusia dan Tuhan. Tuhan yang benar hanya Allah swt. Seruan Nabi Muhammad ini sama dengan analog Ibrahim dengan Marduke.

Para sosiolog yang tidak percaya kepada nilai ketuhanan akan mengatakan bahwa sebetulnya penciptaan Marduke dan penghapusan semua dewa-dewa adalah proses penyatuan bangsa Babilon, mulai dengan proses penyatuan seluruh bangsa Arab. Dengan penghancuran dewa-dewa itu, dan kemudian diterimanya Allah swt, berarti bangsa Arab menjadi satu. Secara historis, memang begitulah kenyataannya. Dalam tempo beberapa ratus tahun kemudian bangsa Arab menguasai daerah yang terbentang dari Lautan Atlantik sampai tembok China. Jelas itu karena nasionalisme Arab yang dipersatukan melalui satu sistem kepercayaan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar